Sunday 16 March 2014

KYU HEE PARK - Korean Guitarist

VIII International Niksic Guitar Festival 2013 : Durasi 2 Jam

ANTARA KLASIK DAN FINGERSTYLE by JUBING


Sejak instrumen musik petik (berdawai) mulai dikenal manusia, selalu ada dua cara utama memainkannya. Yakni, sebagai instrumen pendamping atau sebagai instrumen tunggal/solo.
Sebagai pendamping, ia melengkapi salah satu fungsi yang diperlukan dalam sebuah sajian musik  Bisa sebagai pengiring (rhythm section) atau sebagai melodi/nyanyian. Sebagai instrumen tunggal, ia dimainkan tanpa ada musisi lain ataupun penyanyi. Jadi, dengan satu alat musik saja, sang musisi merangkap fungsi pengiring dan melodi sekaligus.
Ketika instrumen gitar modern lahir, teknik bermain untuk sajian tunggal sudah semakin kompleks. Bahkan desain gitar modern oleh Antonio Torres (Spanyol) jelas mementingkan kebutuhan para gitaris tunggal. Tiga  senar bas dan tiga senar treble adalah kombinasi ideal untuk memainkan melodi dan iringan dengan harmoni paling paling efisien.

BEBERAPA PERBEDAAN
Gitar mulai dapat  julukan "gitar klasik" gara-gara penemuan gitar elektrik. Sebelum itu tidak dikenal istilah "classical guitar". Istilah ini pun akhirnya lebih spesifik ditujukan pada pemain tunggal. Mereka adalah gitaris yang bisa menggelar pertunjukan/konser utuh hanya  dengan memainkan satu gitar saja, tanpa musik atau musisi tambahan (kendati ada juga nomor-nomor untuk ensambel dan konserto untuk gitar).
Beberapa dekade belakangan, lahir di Amerika istilah "finger-picking style". yang kemudian dikenal sebagai "fingerstyle". Istilah ini mengacu pada teknik memetik senar gitar langsung dengan jemari, bukan dengan flatpick atau plectrum. Bermula ketika sebagian gitaris musik rakyat Amerika (country) mulai memetik senar satu persatu dengan jari untuk membentuk arpegio sebagai pengiring.  Instrumennya pun lebih menggunakan gitar dengan dawai dari logam. Bukan nilon seperti gitar klasik.
Dengan makin berkembangnya teknik dan perbendaharaan lagu, para gitaris  fingerstyle mulai ada yang bermain tunggal. Sehingga mereka bisa membuat penampilan solo seperti halnya gitaris klasik. Bedanya, selain jenis senar, lagu-lagu sajian mereka bersumber pada lagu rakyat atau lagu-lagu populer. Sedangkan gitaris klasik umumnya mengandalkan sajian musik yang berakar dari musik literatur Eropa.
Perbedaan lain yang masih mencolok adalah posisi saat memainkan gitar. Kebanyakan gitaris klasik menemukan kenyamanan dengan posisi tradisional --gitar ditumpukan di paha kiri yang dinaikkan ke atas footstool agar kepala gitar terangkat. Ini terkait dengan kestabilan gitar (tidak mudah goyang karena bertumpu pada tiga titik tubuh),  kenyamanan gerak lengan dan jemari kiri, serta kualitas tone yang dihasilkan jemari kanan.
Adapun gitaris fingerstyle umumnya lebih senang menggunakan strap atau tali gitar. Ini juga terkait dengan tradisi, posisi ini digunakan gitaris-gitaris pendahulu mereka. Main bisa sambil duduk, namun banyak yang memilih berdiri saat di panggung. Bisa karena alasan estetika visual pertunjukan, bisa juga karena membuat mereka lebih bebas bergerak atau bergoyang untuk melepaskan ekspresi.
Karena umumnya menggunakan senar logam, tidak sedikit gitaris fingerstyle menggunakan kuku imitasi untuk memetik. Karena jika memakai kuku asli, akan terkikis oleh senar. Ada juga melapisi kukunya dengan bahan pengeras kuku. Gitaris klasik tak perlu semua itu karena senar nilon lebih bersahabat bagi kuku, tidak sekeras senar logam.

BATAS MAKIN KABUR
            Saat ini, seiring main mudahnya kita mendapat dan bertukar informasi --terutama lewat internet- batas atara gitar klasik dan fingerstyle juga menipis. Gitaris fingerstyle terus menyerap teknik-teknik gitaris klasik. Misalnya variasi arpegio serta detail harmoni yang lebih kaya. Sebaliknya gitaris klasik juga mulai menyerap teknik-teknik yang  sebelumnya lazim digunakan gitaris fingerstyle, semisal beragam efek perkusi pada senar maupun tubuh gitar hingga pola-pola ritmis yang lebih modern dan kompleks.
Dalam hal pilihan sajian musik pun demikian. Gitaris klasik masa kini bisa memasukkan ke dalam konsernya sajian lagu-lagu rakyat maupun genre-genre musik populer, dan sebaliknya.
            Kondisi seperti sekarang ini terkadang memicu perdebatan: apakah fingerstyle itu cabang dari klasik, ataukah sebaliknya klasik itu bagian dari fingerstyle? Masing-masing kubu punya argumen sendiri.
Meski demikian, bagi saya perdebatan ini kelak tidak penting lagi. Kenapa?  Karena batasan fingerstyle dan klasik akan samar.  Sejumlah nama gitaris  bisa jadi contoh betapa pada akhirnya kita tidak memerlukan lagi batasan-batasan itu.
Dari gitar klasik, misalnya ada nama Roland Dyens, Andrew York. dan Muriel Anderson. Kedua sama-sama tumbuh dari tradisi gitar klasik sehingga fasih memainkan Bach, Sor, Tarrega,  hingga Villa-Lobos dan Brouwer. Namun mereka juga aktif membuat komposisi maupun aransemen gitar tunggal yang multi-genre. Dyens banyak dipengaruhi jazz, sementara York dan Anderson kerap memanfaatkan idiom country dan blues.
            Dari golongan fingerstyle, bisa disebut Peter Finger dan Michael Chapdelaine. Karya komposisi maupun aransemen mereka memiliki kualitas estetika setara dengan komposer-komposer klasik. Untuk menambahkan, ada nama Martin Taylor dan Tuck Andess. Keduanya meski gitaris fingerstyle namun menggunakan gitar elektrik sebagai instrumennya. Ini memberi mereka keunikan tersendiri. Meski umumnya memainkan jazz, mereka juga piawai memainkan jenis-jenis musik lainnya.
Demikianlah, pada akhirnya yang terpenting bukan soal istilah atau nama, tapi kualitas seni dan/atau nilai estetika musik yang dihasilkan sang gitaris.
***
Download Partitur :
Jubing Partitur
Partitur ZIP Version - by Jubing 

OPEN New York Guitar Festival 2014

Pepe Romero opened the 2014 New York Guitar Festival on Friday, January 10th at the Brookfield Place Winter Garden